Perekonomian Indonesia memiliki kasus yang hampir
mirip dengan negara India, yaitu maraknya serangan spekulan serta defisit
transaksi berjalan. Defisit transaksi berjalan pada tahun 2013 telah mencapai
angka 3,5%. Akan tetapi, jika keadaan ekonomi dan konsumsi/impor dapat ditekan
untuk tahun 2014 maka defisit hanya akan mencapai angka 2,8%. Keadaan defisit
neraca tersebut sebenarnya sudah berlangsung sejak tahun 1997.Hal ini
disebabkan oleh dua hal yaitu berubahnya negara Indonesia menjadi negara net
oil importir sejak tahun 2003 setelah dulunya Indonesia adalah negara net oil exportir.
Alasan kedua adalah sebelum terjadinya krisis moneter, setiap kali terjadi
defisit, negara Indonesia selalu di-supply dana oleh IGGI/CGI. Semenjak
pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai membaik dan Indonesia digolongkan sebagai
negara menengah, pinjaman CGI/IGGI sekarang lebih bersifat komersiil. Kini,
dengan adanya kedua faktor tersebut, Indonesia semakin tertekan. Ditambah
dengan hasil ekspor yang kurang mencukupi, cicilan imbal hasil yang tinggi,
serta meningkatnya subsidi.
Kondisi defisit neraca perdagangan tersebut
diperparah dengan berubahnya life style masyarakat Indonesia. Terlebih saat
periode menurunnya tingkat suku bunga BI Rate di Indonesia, tingkat konsumsi
semakin menjadi-jadi karena banyaknya masyarakat yang mengambil kredit untuk
barang konsumsi. Padahal, sebagian besar barang konsumsi kita (misal alat-alat
elektronik, makanan di restoran, pakaian, dsb.) adalah barang impor. Jika
konsumsi Indonesia tidak ditekan, impor negara Indonesia tidak akan sanggup
mengimbangi ekspor luar negeri dan pada akhirnya defisit neraca perdagangan
akan semakin besar.
Sebenarnya Indonesia pernah mengalami masa kejayaan
setelah mengalami keterpurukan akibat krisis moneter tahun 1997-1998. Jika
Indonesia menengok ke arah 5 tahun ke belakang (2008-2012), dapat dikatakan
bahwa lima tahun lalu adalah lima tahun penuh kelimpahan (5 years of plenty).
PDB kita terus menguat dari 6,0% menjadi 6,5%, BI rate menurun dari 9,5%
menjadi 5,75%, dan menguatnya Rupiah. Kondisi kejayaan tersebut disebabkan oleh
booming-nya komoditas Indonesia (harga barang-barang komoditas naik sehingga
hasil ekspor tinggi) serta inflow modal (banjir likuiditas akibat QE). Akan
tetapi, dengan tidak adanya reformasi stuktural yang meliputi pembenahan
infrastruktur, produktivitas, serta pasar tenaga kerja, menyebabkan kondisi
kelimpahan tersebut kembali ke kondisi normal pada tahun 2013. PDB yang terus
menurun menjadi +/- 5%, BI rate terus meningkat hingga mencapai angka 8%, serta
imbal hasil SUN 10Y yang mencapai >8% semakin menambah beban negara. Lalu
bagaimanakah kondisi masa depan ekonomi Indonesia jika kebijakan struktural/
reformasi pemerintahan yang baru tidak segera mengambil langkah
preventif?Terlebih di tengah tekanan isu US tapering serta revolusi shale gas
Amerika yang otomatis menurunkan harga komoditas dunia.
Menengok kondisi Indonesia saat ini yang dapat
dikatakan menurun dibandingkan lima tahun lalu, serta kekhawatiran akan kondisi
masa depan, maka perancangan sistematis pembangunan menjadi sangat penting
untuk dilakukan. Semenjak GBHN dihapuskan, negara Indonesia mengalami
kebingungan arah pembangunan sebab saat ini Indonesia hanya bergantung pada
RJP. Seharusnya Indonesia meniru negara China dan Korea yang telah membuat
perencanaan negaranya hingga 20 tahun ke depan. Di negeri Korea, industri
alat-alat berat awal mulanya dibangun sehingga sesuai prediksi, akhirnya
industri elektronik bisa berkembang. Korea juga membuat perencanaan melalui
sosial budaya, yaitu budaya K-POP yang telah menyerbu negara lain hingga
Jepang. Pada akhirnya budaya K-POP ini berpengaruh kepada ritel Korea (Cloth
Mark).
Kondisi keterpurukan Indonesia akibat tapering USA
tersebut memang membawa dampak signifikan bagi perekonomian Indonesia. Tahun
2013 Indonesia menjadi negara dengan perekonomian terburuk di Asia serta nomor
2 di dunia setelah Argentina dan Peso.
Langkah Kebijakan
Ekonomi Indonesia Tahun 2014.
Setelah sejenak kita melihat perbandingan
pembangunan ekonomi Indonesia dengan negara lain, sekarang kita lihat langkah
kebijakan apa saja yang telah diambil oleh Indonesia sebagai langkah preventif
untuk mengurangi defisit neraca berjalan pada tahun 2014. Menurut Gubernur BI,
bagaimanapun juga, ekspor Indonesia tidak akan dapat ditingkatkan karena hal
tersebut di luar kendali Indonesia. Harga barang komoditas sangat terancam oleh
prospektus revolusi shale gas di USA. Terlebih adanya larangan ekspor atas
beberapa logam antara lain nikel dan bauksit, tentu saja membuat neraca
perdagangan Indonesia semakin minus. Dari perhitungan didapatkan bahwa
pelarangan ekspor atas nikel dan bauksit itu sendiri menyumbang defisit sebesar
0,2%.
Oleh karena itu, jalan satu-satunya yang diambil
oleh Gubernur BI adalah dengan menekan pola konsumsi masyarakat yang kebanyakan
merupakan konsumsi barang-barang impor. Cara pertama adalah dengan menaikkan
Pajak Penghasilan atas impor sebagaimana secara eksplisit telah terlihat pada
PMK-175/PMK.011/2013, bahwa impor baik dengan API maupun tanpa API atas
barang-barang tertentu (sebagian besar barang-barang konsumsi), tetap dikenakan
tarif 7,5% (sebelumnya impor barang dengan API hanya dikenakan tarif 2,5%.
Langkah kedua adalah dengan meningkatkan PPnBM atas impor barang-barang yang
tergolong lux, misalnya gadget, smartphone, dsb. Langkah selanjutnya adalah
dengan menurunkan nilai tukar rupiah terhadap dollar. Saat ini rupiah telah
berkisar di antara level Rp11.000 hingga Rp12.000, padahal sebelumnya hanya
berkisar pada level Rp8.500,-. Diperkirakan rupiah akan terus ditekan hingga
mencapai level Rp12.500 pada akhir semester kedua tahun 2014 ini dengan harapan
pola konsumsi masyakat juga dapat ditekan. Kebijakan selanjutnya yang
diluncurkan BI adalah penurunan jumlah kredit. Tahun lalu BI memberikan
prediksi pertumbuhan kredit yang digelontorkan oleh Bank Indonesia adalah
sebesar 25%. Akan tetapi pada tahun 2014 ini, BI menurunkan prediksi
pertumbuhan kredit menjadi 15%.
Terkait dengan adanya ancaman tapering USA, yield
SUN Indonesia tertekan hingga mencapai level 8% ke arah 9%, padahal sebelumnya
sempat mencapai angka 10-12%. Hal tersebut sebagian besar juga disebabkan oleh
berkurangnya inflow modal akibat semakin ketatnya Quantitative Easing. Selain itu, kondisi
cuaca yang tidak mendukung pada awal tahun 2014 ini tentu saja mempengaruhi
kondisi perekonomian negara Indonesia. Diperkirakan akibat meluasnya banjir,
barang-barang konsumsi akan semakin langka sehingga akan terjadi inflasi
sebesar 8,4%. Akan tetapi akan inflasi tersebut akan turun ke base 5%-6% pada
bulan Juni ketika cuaca mulai membaik.
Beberapa faktor utama yang memperburuk perekonomian
Indonesia adalah belum jelasnya aturan mengenai daftar negara yang boleh dan
tidak boleh berinvestasi di Indonesia sehingga membuat investor menjadi enggan
untuk berinvestasi di Indonesia. Kemudian kebijakan LTV (Loan To Value) yang
lebih memperketat penyaluran kredit untuk otomotif serta rumah kedua dst.
membuat pertumbuhan sektor properti dan otomotif sedikit melamban. Adanya
kesenjangan UMR antara daerah dengan Jakarta membuat banyaknya tenaga kerja
yang berpindah ke kota serta memicu relokasi pabrik-pabrik di daerah. Pada
akhirnya, tenaga kerja yang tidak berpindah akan mengalami kehilangan pekerjaan
sehingga ancaman kredit macet properti akan meningkat akibat meningkatnya
pengangguran.
Akan tetapi, di tengah faktor penekan ekonomi
Indonesiasebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya pada awal-awal tahun
2014, diharapkan diakhir tahun 2014 perekonomian Indonesia akan membaik.
Setidaknya hal tersebut tertolong oleh diselenggarakannya Pemilu 2014. Pemilu
bisa menjadi katalis positif bagi konsumsi dalam negeri, produktivitas
industri, tenaga kerja, serta membawa harapan baru bagi investor untuk kembali
menanamkan modalnya di Indonesia sehingga efek negatif tapering dapat
dihindari.
Faktor-faktor positif lainnya yang juga dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah adanya sektor dollar earner
misalnya konsumsi, transportasi, pariwisata. Selain itu daya beli masyarakat
yang tinggi akibat meningkatnya UMR juga dapat menjadi stimulus untuk konsumsi
dalam negeri. Kenaikan suku bunga pada level 8% akan menjadi daya tarik
tersendiri bagi investor. Ditambah dengan adanya wacana subsidi BBM yang tetap
sehingga risiko fiskal menjadi rendah, mampu menambah rating Indonesia di mata
investor.
Akhirnya, dengan menganalisis kebijakan-kebijakan
yang telah dibuat oleh pemerintah serta faktor-faktor positif dan negatifnya,
analis ekonom Indonesia optimis bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan
meningkat 0,2% dari realisasi pertumbuhan ekonomi tahun, yaitu menjadi 5,8%
dari angka 5,6%. Salah satu penyebab utama peningkatan pertumbuhan ekonomi
sebesar 0,2% tersebut adalah adanya katalis Pemilu 2014 yang menyebabkan
terjadinya konsumsi besar-besaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar