Rabu, 24 Mei 2017

ARTIKEL PAJAK INTERNASIONAL

1. KANADA

Ini Alasan Kanada dijuluki sebagai Tax Haven Baru

OTTAWA, DDTCNews – Terdapat beberapa alasan mengapa Kanada disebut sebagai negara tax haven sebagaimana diungkapkan dalam laporan memo internal Mossack Fonseca 2010 yang mengatakan bahwa Kanada masuk sebagai kategori negara tax haven baru.
Ron Choudhury dari Miller Thomson LLP di Toronto mengatakan Kanada memiliki sistem hukum yang kuat, sistem keuangan yang cerdas dan sejarah yang baik dalam menghormati hak-hak para investor. Oleh karenanya, dalam suasana politik yang sedang bergejolak saat ini, tidak heran jika Kanada menjadi salah satu tujuan para investor untuk menyimpan dananya.
“Teorinya adalah bahwa stabilitas ekonomi Kanada dan reputasinya yang baik menjadikan transaksi keuangan mencurigakan yang dilakukan di negara ini menjadi terlihat seolah ‘tertutupi’ atau terkesan wajar,” ujarnya.
Jika dikaitkan dengan pengertian tax haven, OECD Report 1998 berjudul ‘Harmful Tax Competition: An Emerging Global Issue’ menyatakan tidak ada definisi yang pasti dari tax haven. Namun, OECD menetapkan terdapat 4 kriteria untuk mengkategorikan bahwa suatu negara tergolong sebagai tax haven, yaitu:
  • Menerapkan tarif pajak rendah atau 0%
  • Tidak adanya pertukaran informasi
  • Tidak adanya transparansi dalam pemungutan pajak
  • Tidak adanya persyaratan aktivitas substansial bagi perusahaan
Untuk kriteria pertama jelas dapat dikatakan bahwa Kanada tidak menetapkan tarif 0%. Otoritas pajak Kanada menetapkan tarif pajak penghasilan perusahaan sebesar 15%. Sementara terkait dengan pertukaran informasi pajak, Kanada telah memiliki tax treaty dengan lebih dari 115 negara di dunia dan telah sepakat untuk berkomitmen sebagai negara yang akan menerapkan AEoI pada tahun 2018.
Adapun, jika dilihat dari kriteria terakhir mengenai tidak adanya persyaratan aktivitas substansial bagi perusahan, jelas ini menjadi salah satu kriteria yang dimiliki oleh Kanada. Pasalnya, kerahasiaan dalam sistem pendaftaran perusahaan di Kanada menjadi yang diutamakan oleh Pemerintah Kanada.
Sistem pendaftaran perusahaan di Kanada, seperti dilansir dalam Tax Notes International, baik di level pusat maupun provinsi sangat dijaga kerahasiaannya. Hal inilah yang menjadikan Kanada seperti negara-negara tax haven lainnya seperti British Virgin Islands (BVI), Panama dan Bahama.
Sementara itu, The Star melaporkan banyak kasus yang ditemukan di Kanada, di mana nama-nama yang tercantum di daftar publik sebagai pemilik perusahaan yang terdaftar bukanlah pemilik sebenarnya dari perusahaan tersebut.
“Sangat penting untuk diingat bahwa ada alasan yang sah ketika individu di luar Amerika Utara mencari kerahasiaan dan privasi sebagai fokus utama dalam mendirikan perusahaan, yang mungkin bertujuan untuk melakukan penghindaran pajak,” ungkap laporan The Star.
Namun, jika ditelusuri dari kriteria-kriteria negara yang disebut sebagai tax haven, pernyataan tersebut masih dapat diperdebatkan. Pasalnya, tarif pajak sebesar 15% terbilang masih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara yang dikatakan sebagai negara tax haven lainnya. Tidak hanya itu, banyak pula warga Kanada yang justru berusaha untuk memarkir uang mereka di negara tax haven lainnya, dengan tujuan untuk menghindari membayar pajak di Kanada.
- See more at: http://news.ddtc.co.id/artikel/9326/kanada--ini-alasan-kanada-dijuluki-sebagai-tax-haven-baru/#sthash.2kaVFp7e.dpuf

OTTAWA, DDTCNews – Terdapat beberapa alasan mengapa Kanada disebut sebagai negara tax haven sebagaimana diungkapkan dalam laporan memo internal Mossack Fonseca 2010 yang mengatakan bahwa Kanada masuk sebagai kategori negara tax haven baru.
Ron Choudhury dari Miller Thomson LLP di Toronto mengatakan Kanada memiliki sistem hukum yang kuat, sistem keuangan yang cerdas dan sejarah yang baik dalam menghormati hak-hak para investor. Oleh karenanya, dalam suasana politik yang sedang bergejolak saat ini, tidak heran jika Kanada menjadi salah satu tujuan para investor untuk menyimpan dananya.
“Teorinya adalah bahwa stabilitas ekonomi Kanada dan reputasinya yang baik menjadikan transaksi keuangan mencurigakan yang dilakukan di negara ini menjadi terlihat seolah ‘tertutupi’ atau terkesan wajar,” ujarnya.

Jika dikaitkan dengan pengertian tax haven, OECD Report 1998 berjudul ‘Harmful Tax Competition: An Emerging Global Issue’ menyatakan tidak ada definisi yang pasti dari tax haven. Namun, OECD menetapkan terdapat 4 kriteria untuk mengkategorikan bahwa suatu negara tergolong sebagai tax haven, yaitu:
·  Menerapkan tarif pajak rendah atau 0%
·  Tidak adanya pertukaran informasi
·  Tidak adanya transparansi dalam pemungutan pajak
·  Tidak adanya persyaratan aktivitas substansial bagi perusahaan
Untuk kriteria pertama jelas dapat dikatakan bahwa Kanada tidak menetapkan tarif 0%. Otoritas pajak Kanada menetapkan tarif pajak penghasilan perusahaan sebesar 15%. Sementara terkait dengan pertukaran informasi pajak, Kanada telah memiliki tax treaty dengan lebih dari 115 negara di dunia dan telah sepakat untuk berkomitmen sebagai negara yang akan menerapkan AEoI pada tahun 2018.
Adapun, jika dilihat dari kriteria terakhir mengenai tidak adanya persyaratan aktivitas substansial bagi perusahan, jelas ini menjadi salah satu kriteria yang dimiliki oleh Kanada. Pasalnya, kerahasiaan dalam sistem pendaftaran perusahaan di Kanada menjadi yang diutamakan oleh Pemerintah Kanada.
Sistem pendaftaran perusahaan di Kanada, seperti dilansir dalam Tax Notes International, baik di level pusat maupun provinsi sangat dijaga kerahasiaannya. Hal inilah yang menjadikan Kanada seperti negara-negara tax haven lainnya seperti British Virgin Islands (BVI), Panama dan Bahama.
Sementara itu, The Star melaporkan banyak kasus yang ditemukan di Kanada, di mana nama-nama yang tercantum di daftar publik sebagai pemilik perusahaan yang terdaftar bukanlah pemilik sebenarnya dari perusahaan tersebut.
“Sangat penting untuk diingat bahwa ada alasan yang sah ketika individu di luar Amerika Utara mencari kerahasiaan dan privasi sebagai fokus utama dalam mendirikan perusahaan, yang mungkin bertujuan untuk melakukan penghindaran pajak,” ungkap laporan The Star.
Namun, jika ditelusuri dari kriteria-kriteria negara yang disebut sebagai tax haven, pernyataan tersebut masih dapat diperdebatkan. Pasalnya, tarif pajak sebesar 15% terbilang masih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara yang dikatakan sebagai negara tax haven lainnya. Tidak hanya itu, banyak pula warga Kanada yang justru berusaha untuk memarkir uang mereka di negara tax haven lainnya, dengan tujuan untuk menghindari membayar pajak di Kanada. 
Sumber: Klik disini

 
2. SINGAPURA


Soal Deklarasi Harta, Singapura Duduki Peringkat Teratas

RIYADH, DDTCNews – Pemerintah Arab Saudi telah menyetujui rezim pajak baru untuk produsen minyak dan gas alam di tengah-tengah rencana untuk mendaftarkan saham (Initial Public Offering/IPO) perusahaan minyak raksasa milik negara, Saudi Aramco.
Di bawah rezin baru ini, Pemerintah Arab Saudi memangkas tarif pajak perusahaan (PPh) badan Saudi Aramco hingga menjadi 50% dari tarif semula sebesar 85%. Pemangkasan tarif pajak ini dinilai sebagai bagaian dari persiapan untuk IPO tahun depan yang akan menjual saham sebanyak 5% dari perusahaan.
“Berdasarkan dekrit kerajaan yang dikeluarkan pada Senin (27/3), Saudi Aramco diperbolehkan membayar pajak hanya 50% dari keuntungannya yang berlaku surut mulai tanggal 1 Januari,” ungkap keterangan tertulis Badan Pers Saudi (SPA) itu.
Melalui dekrit tersebut, perusahaan dengan modal lebih dari SR375 miliar atau Rp1.332 triliun akan membayar PPh badan dengan tarif 50%.
Sementara itu, perusahaan dengan modal antara SR300 miliar-SR375 miliar dikenakan 65%, modal senilai SR225 miliar-SR300 miliar berlaku tarif 75%, dan modal kurang dari SR225 miliar akan dikenakan pajak 85%.
CEO Aramco Amin Nasser menyambut baik kebijakan baru di sektor perpajakan ini. Menurutnya, dengan penurunan tarif pajak ini, investor akan tertarik untuk membeli saham Saudi Aramco di masa depan. Nasser menambahkan besaran penurunan pajak ini juga dinilai akan menjadi lebih kompetitif secara internasional.
Nasser mengatakan perusahaan akan terus memberikan kontribusi penting untuk diversifikasi dan pertumbuhan ekonomi Arab Saudi agar sejalan dengan Visi pada tahun 2030.
“Pemerintah Arab Saudi telah didesak oleh banyak pihak, termasuk International Monetary Fund (IMF) untuk mereformasi sistem fiskalnya agar sejalan dengan praktik internasional. Reformasi fiskal juga dapat menarik minat investor swasta, tidak hanya pada Saudi Aramco atau sektor hidrokarbon, namun juga ke sektor yang lebih luas,” ujar Nasser.
Menteri Energi dan Ketua Aramco Khalid Al-Falih mengatakan pemerintah Saudi selama ini menggantungkan 60% pendapatannya dari sektor minyak. Perubahan pajak ini akan mempengaruhi pendapatan negara yang tengah berjuang menutup defisit US$79 miliar atau setara Rp1.052 triliun pada tahun lalu, akibat penurunan harga minyak.
“Negeri Petrodolar tersebut memperkirakan akan dapat meraup dana lebih dari US$2 triliun atau sekitar Rp26,6 triliun atas perubahan kebijakan ini,” pungkasnya seperti dilansir dalam Arab News.
Sebagai informasi, berkaitan dengan isu pajak minyak dan gas tersebut, DDTC Academy akan menyelenggarakan seminar dengan tema Recent Developmeny and Emerging Issues of Oil and Gas Taxation pada Kamis, 13 April 2017. Seminar ini akan mengulas lebih lanjut perlakuan pajak untuk transaksi dalam industri minyak dan gas, serta implikasinya terhadap pajak lintas batas.
- See more at: http://news.ddtc.co.id/artikel/9713/arab-saudi-negara-minyak-ini-pangkas-pajak-migas-jadi-50/#sthash.YB585kzp.dpuf

JAKARTA, DDTCNews – Negara dengan nilai repatriasi dan deklarasi harta luar negeri pada program pengampunan pajak terbesar masih tetap diraih oleh Singapura. Bahkan, negara lainnya pun tertinggal jauh dengan kontribusi Singapura pada program ini.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan penerimaan program pengampunan pajak dari luar negeri berasal dari Singapura, Virgin Island (British), Cayman Islands, Hong Kong, Australia, dan Cina.
“Deklarasi luar negeri yang berasal dari Singapura sangatlah besar dibanding negara lainnya, yaitu sebesar Rp751,19 triliun. Lalu ada Virgin Islands yang senilai Rp76,92 triliun, Hong Kong sekitar Rp56,86 triliun, serta Australia setara Rp41,15 triliun,” ujarnya di Kantor Pusat Ditjen Pajak Jakarta, Rabu (29/3).
Ia menyebutkan tidak hanya pada deklarasi harta luar negeri, repatriasi terbesar pada program pengampunan pajak pun berasal dari Singapura dengan nilai setinggi Rp84,52 triliun. Sedangkan, negara lainnya seperti Cayman Islands hanya berkisar Rp16,51 triliun.
Adapun, repatriasi harta dari Hong Kong setara Rp16,28 triliun, Virgin Islands berkisar Rp6,58 triliun. Serta, repatriasi harta dari Cina hanya senilai Rp3,65 triliun. Menurutnya, keenam negara tersebut mendominasi peringkat teratas dalam kontribusi program pengampunan pajak.
Hestu menjabarkan penerimaan program pengampunan pajak berdasarkan Surat Penyertaan Harta (SPH) atas keseluruhan deklarasi dan repatriasi mencapai Rp4.669 triliun per tanggal 29 Maret 2017, dengan deklarasi harta dalam negeri sendiri terkumppul sebanyak Rp3.495 triliun atau sekitar 75% dari total SPH.
Kemudian deklarasi luar negeri mencapai Rp1.028 triliun atau sekitar 22% dari total SPH terkumpul. Sementara untuk repatriasi hanya senilai Rp146 triliun atau hanya 3% dari total penerimaan pengungkapan harta partisipan program pengampunan pajak.
Sumber: Klik disini

Tugas Softskill Akuntansi Internasional
Nama : Dewi Yuliaty
NPM : 22213306
Kelas : 4EB10 
Ini Alasan Kanada Dijuluki Sebagai Tax Haven Baru
Ini Alasan Kanada Dijuluki Sebagai Tax Haven Baru
Ini Alasan Kanada Dijuluki Sebagai Tax Haven Baru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar